TEMPO.CO, Jakarta - Bagi orang dewasa atau orang
yang sudah lanjut usia, menerima undangan reuni dari almamater, entah itu dari
sekolah atau perguruan tinggi, bisa menimbulkan perasaan yang tidak biasa. Bisa
jadi sangat antusias, atau justru malah sebaliknya.
Sekitar
awal tahun 2015, Larry Waldman, Phd, seorang psikolog klinis dan forensik asal
Arizona, Amerika Serikat, merilis sebuah jurnal yang membahas mengenai sisi
psikologis dari sebuah reuni. Waldman menuliskannya berdasarkan pengalaman
langsung. Pada musim panas tahun tahun ini, dia dan istrinya, Nan, rencananya
akan bersama-sama menghadiri reuni akbar 50 tahun SMA. Kebetulan keduanya
merupakan lulusan dari sekolah yang sama, yakni sebuah sekolah di pinggiran
Kota Milwaukee, Wisconsin, 44 tahun lalu.
Sekejap, Waldman dapat mengidentifikasi adanya perbedaan reaksi dalam menanggapi reuni antara dia dan sang istri. Nan, dalam ingatannya, tergolong siswa populer di sekolah. Selain terkenal pintar, dia aktif dalam berbagai kegiatan sekolah. Menghadapi acara reuni, Nan antusias. Terbukti Nan bersedia menjadi bagian dari kepanitiaan.
Reaksi
Waldman berbanding terbalik dengan Nan. Saat di sekolah dulu, Waldman bukan
siswa yang populer. Ia menyebut dirinya tidak masuk ke dalam kelompok apa pun,
bahkan kelompok "culun" sekalipun. Sejak masuk sekolah sebagai anak
baru, psikolog yang juga dosen psikologi di Universitas Northern Arizona ini
sudah merasa asing.
“Ayah
mendorong saya untuk terlibat lebih dalam dengan sekolah, tapi, seperti
kebanyakan remaja, saya pikir dia hanya tidak mengerti,” kata Waldman, yang
juga menangani psikologi bidang parenting dan asmara. Sebagai informasi
tambahan, Waldman dan istrinya tidak pernah berkencan saat mereka sama-sama
masih duduk di bangku sekolah.
“Hal
ini membawa saya kembali ke fase canggung. Sebuah emosi yang tidak pernah
terhapuskan dan akan tetap bersama kita dalam waktu lama atau mungkin
selamanya,” ujar Waldman. “Tidak mengherankan, seperti diungkap banyak
penelitian, tampaknya alumnus dengan pengalaman masa sekolah yang positif akan
lebih mungkin merasa bersemangat menghadiri reuni kelas, terutama reuni kali
pertama,” ujarnya.
Reuni
mempromosikan refleksi diri. Kita merenung dan membandingkan tentang di mana
posisi kita dulu dan di mana posisi kita sekarang. Dan, seperti melihat sebuah
cermin, hari demi hari, selama bertahun-tahun, kita gagal menghargai perubahan
tak terelakkan yang sudah terjadi dan yang akan terjadi.
“Setelah menghadiri reuni nanti, perbandingan
dapat memuaskan atau menakutkan,” ujar Waldman, yang menyarankan istrinya untuk
mencari teman-teman yang lebih muda pada acara reuni. “Untuk beberapa orang,
datang ke reuni berarti diet, belanja, atau melakukan makeover.
Idealnya, berdasarkan pengalaman, reuni seharusnya bukan lagi tentang
perbandingan, melainkan tentang menghubungkan (sesama almamater),” kata
Waldman.
No comments:
Post a Comment